Pagi itu udara begitu sejuk, mentari bersinar dari ufuk timur memberikan kehangatan yang penuh kasih sayang tulus tanpa batas kepada alam. Burung-burung berkicauan , bernyanyi, menari bersahutan menyambut sang surya yang memberikan cahaya kehidupan bagi setiap insan. Bunga-bunga bermekaran menyambut alam yang telah menciptakan keindahan bagi dirinya yang alami, menebarkan keharumannya dengan penuh persahabatan yang sejati.
Embun pun menetes disetiap ranting yang kering, memberikan semangat untuk bangkit, memberikan kehidupan yang baru dengan wajah dan jiwa yang telah bersih seiring tetesan setiap embun yang telah menetes jatuh meninggalkan kegelapan dari kehidupan malam yang mencekam penuh dengan mimpi yang tiada pasti. Dan angin berhembus, memeluk alam dengan penuh cinta dan kasih sayang yang dalam memberikan arah dan berjuta impian. Begitu indahnya alam ini, alangkah bersahabatnya alam kepada setiap kehidupan dengan kasih sayangnya yang tiada batas. Semua adalah keAgungan Tuhan, Tuhan yang selalu menjajikan keindahan dan kebaikan kepada kita.
Pagi ini aku begitu menikmati keindahan alam yang sempurna itu, Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara. Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang masih kudapatkan dan kurasakan curahan rahmat dan berbagai nikmat yang kerap Kau berikan, aku sendiri berdiri memandang luas ke langit biru yang memerah terkena senja matahari yang sedang menghangatkan seluruh isi alam dengan salam yang penuh persahabatan sambil mengucapkan selamat pagi duniaku. Angin bersemilir sejuk berhembus hingga kedalam relung jiwa yang sepi dan membuat terasa damai, dengan kicauan burung bersama suaranya yang merdu saling bersahutan mempertunjukan syairnya masing-masing membangunkan seisi alam dari kegelapan malam. Kulihat dihadapanku sebuah pemandangan yang sangat indah bernuansa alam yang penuh pesona, pagi yang indah. Perkebunan kelapa sawit disebuah daerah yang sangat jauh dari keramaian terbentang luas seperti samudra dengan garis panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar dinegeri-negeri orang berkulit pucat. Pada momen yang spektakuler itu aku sendirian, ini adalah hari pertamaku aku pergi dari pulau kelahiranku dan menginjakan kakiku disebuah salah satu pulau yang terbesar diIndonesia dan dunia. Sebuah pulau yang sebagian wilayahnya adalah hutan belantara yang luas dan saat ini sebagian daerahnya telah dirubah menjadi hutan kelapa sawit yang terbesar di Indonesia. Pohon kelapa sawit itu berbaris rapi, lurus dipandang dari sudut manapun. Dengan daunnya yang berwarna hijau tua menyiur, melambai dibelai angin dengan penuh persahabatan dan kasih sayang.
Pohon itu berdiri tegak, kokoh penuh wibawa. Seperti para prajurit yang sedang melakukan upacara kenegaraan, semuanya tampak gagah tanpa lelah memberikan sesuatu yang terbaik. Semua berjejer rapi, dengan garis panjang yang membelah setiap wilayah atau blok. Garis yang berfungsi juga sebagai jalan untuk setiap blok. Jalan itu tidak begitu lebar, tapi cukup untuk dua kendaraan dengan dua arah. Jalan yang berwarna kemerahan dan diatasnya terdapat biji atau cangkang dari kelapa sawit yang telah diolah sehingga terlihat seperti kerikil. Di setiap samping jalan itu terdapat masing-masing drainase, yang kurang begitu terawat sehingga banyak rumput liar yang tumbuh disebagian jalan air itu.
Embun menetes pagi itu disebuah dedaunan dari sebuah bunga yang telah mekar disetiap pinggir setiap blok perkebunan kelapa sawit itu. Dengan luas tak lebih dari 1 m berbaris rapi tumbuhan yang tidak begitu besar dengan bunga yang berwarna putih suci, sebuah tumbuhan yang berfungsi sebagai pencegah datangnya serangga berupa ulat. Matahari mulai condong keatas, tapi tetap kulangkahkan kakiku menelusuri jalan demi jalan yang penuh dengan rerumputan liar. Dalam dahan pohon yang besar kuhentikan langkahku sejenak, kusenderkan tubuhku pada dahan pohon yang telah tumbang. Pohon yang sangat besar yang telah mengering itu masih sangat terlihat kokoh dengan ranting-rantingnya yang mulai merapuh, tidak hanya satu tapi puluhan pohon yang telah tumbang mulai merapuh ditelan waktu.
Surya kembali merunduk malu memamerkan senyum sumringah menyambut gelap....bersama sekawanan camar. Walau sekejap....terawang awan putih mampu biaskan kemilau sinar kemerahan yang terpantul di pucuk-pucuk pohon. Pun....ketika pekat datang membentang atau hitam mulai menggulung mimpi setitik nyata masih tersisa di antara gunung dan...laut yang tampak menenggelamkan dirinya menerbitkan silvet Sang Pelukis Agung. Aku ingin seperti surya di ufuk barat tersenyum manis bersama perih biar terasa pahit menikam tapi, pesona itu.........mampu bersemayam dalam setiap jiwa insan pemikat keindahan. Langit senja mulai temaram, siang berakhir digantikan malam dengan segala hiasannya di angkasa menerangi bumi. Keping kenangan di masa lalu dari sebuah kegagalan berakhir kekecewaan bukanlah benih putus asa di esok dan lusa bersama mentari baru. Rembulan berkawan bintang hapuskan keraguan dari sebuah asa pengharapan Bergema do'a, jalan terbuka tergapai segala cita dan ketika angin menyapa embun telah hilang dalam genggaman daun. Awanpun tergapai segala cita. ketika angin menyapa embun tlah hilang dalam gemggaman daun. Awanpun kelam menahan tangis hujan. Sunyi, kesemuanya tentang sunyi. Sunyi kadang menjadi mentari syair, kadang menjadi gerak kadang juga membekukan kalbu. Kali ini aku menyatu bersama alam, mewarnai hidup bersama hijaunya daun, membasahi kalbu dengan tetesan embun, dan menari bersama hembusan angin. Sunyi adalah resapan jiwa.
Tapi bila tiba waktu berpisah, pantaskah kumemohon diri. Tanpa setetes syukur disamudra rahmat-Mu. Disiang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku, dimalam hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai, masih kudapatkan dan kurasakan kedamaian dan suasana dan ketenangan jiwa. Tapi bila waktu berpisah akankah kupergi seorang diri tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani. Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku, ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti, masih bisa kumenghibur diri. Tubuhku akan bersih dan esok akan lebih baik tanpa sebersit keraguan, tapi bila waktu berpisah tiba, masih adakah kesempatan bagiki tuk membersihkan jiwa dan hatiku. Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan, setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan. Bagai nyiur tertiup angin bergerak tanpa kepastian, beginilah hatiku ketika selalu mengikuti arus kehidupan kemana saja ingin membawa, kumencoba melawan , menentang namun tak kuasa untuk menetapkan hatiku.
Bagi aku hidup adalah sebuah pilihan, memilih untuk bahagia atau sengsara, memilih untuk dipulihkan atau untuk menyimpan kepahitan, memilih untuk mengampuni atau untuk mendendam.
Terkadang dalam kehidupan kebahagiaan semu aku dapatkan, walaupun yang sejati tak jauh dari jangkauan. Tapi terkadang juga cinta dan kasih aku miliki, namun dendam dan amarah kadang aku alami. Persahabatan yang indah bagiku bukan impian, karena penghianatan dan kepahitan mungkin aku dapati. Mengenai bagaimana aku menjalani hidup, bagaimana aku menghabiskan waktu, bagaimana aku mencapai impian dan bagaimana aku memandang kehidupan aku menganggap kehidupan ini sebagai angin yang berhembus, banyak yang datang dan yang pergi tak dapat ditebak dan tak dapat diselami.
Tapi terkadang aku menganggap kehidupan ini sebagai medan perang, dimana aku harus berjuang tanpa henti tanpa kedamaian hati.
Namun……
Dalam hati aku yang paling dalam, bagi aku hidup ini adalah suatu emas yang mulia, harta yang sangat berharga dan anugerah Ilahi yang tak tertandingi.
Aku menjalani hidup ini dengan asa dan impian, berjalan dalam jalan Sang Pencipta. Berserah sepenuhnya, melangkah setapak demi setapak sampai aku dapatkan kemuliannya.
Aku ingin setiap langkahku, setiap nafasku dan di setiap detak jantungku memberikan yang terbaik.
Walaupun terkadang aku temui seseorang yang sulit dimengerti, tidak berpikir panjang dan selalu memikirkan diri sendiri, namun demikian,….aku memaklumi mereka.
Walaupun aku berbuat baik hati, terkadang ada seseorang yang mungkin menuduh aku egois, kendati demikian aku ingin tetap berbuat baik.
Walaupun ketika aku dapatkan kesuksesanku aku temui teman – teman yang tidak bersahabat, aku ingin tetap meneruskan kesuksesanku.
Walaupun ketika kejujuran dan ketulusan hati terkadang berbalas penghianatan dan kepahitan, tapi aku ingin selalu memberikan yang terbaik dengan ketulusan hati dan kejujuran.
Walaupun terkadang juga ketika aku menemukan ketenangan dan kebahagiaan mungkin ada yang iri, namun demikian,….aku akan tetap mensyukuri kebahagiaanku.
Walaupun kebaikanku sering dilupakan orang, aku ingin tetap berbuat baik.
Aku akan selalu memberikan yang terbaik walaupun itu tak akan pernah memuaskan.
Karena aku yakin Tuhan tahu, Tuhan melihat dan Tuhanpun mendengar. Dan semua aku lakukan hanya untuk –NYA semata.
Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta…..
Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang….
Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan…..
Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan…..
Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran…..
Ketika semua itu dilakukan dengan hati.
Memang benar apa yang telah dikatakan oleh seorang lelaki tua kemarin pagi ketika aku sedang menikmati indahnya pagi. Disuatu pagi yang basah kemarin, ketika aku berjalan sendiri tak sengaja aku melewati sebuah telaga yang indah , luas dan bersih. Dengan airnya yang tenang, danau itu sedang dihibur oleh nyanyian – nyanyian burung yang berkicau menyambut pagi. Kupandangi telaga itu dengan penuh rasa syukur, kulihat diseliling telaga itu yang dikelilingi oleh pohon – pohon yang besar dan rerumputan yang rimbun. Tiba – tiba pandanganku dikejutkan oleh seorang lelaki tua yang sedang memancing tanpa satupun seorang yang menemaninya. Dengan langkah pelan, aku mencoba mendekati seorang lelaki tua itu. Lelaki itu tampak seperti orang yang tak pernah sedih ataupun menderita dalam hidupnya, karna yang aku lihat dimatanya terpancar sinar yang tulus dan iklas dalam menjalani hidupnya. Tanpa membuang waktu,aku menemuinya, dan aku menyapanya, lelaki tua itu hanya tersenyum. Setelah sekian lama dalam diam aku mencoba bercerita dan mencurahkan isi hatiku, perjalanan hidupku, dan impianku.
Pak tua yang bijak hanya mendengarkan setiap kata demi kata yang aku ucapkan dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dan memintaku untuk mengambil segelas air minum. Dia taburkan garam tadi kedalam gelas,lalu ia aduk dengan sendok, tenang, dan dengan wajah yang dihiasi dengan senyum bibirnya.
“coba minum air ini,dan katakan bagaimana rasanya?”pinta pak tua itu.
“asin dan pahit,pahit sekali”,jawab ku.
Pak tua itu hanya tersenyum, lalu mengajakku berjalan ketepi telaga didalam hutan dekat tempat tinggalnya. Aku dan pak tua berjalan beriringan,tapi dalam kediaman. Dan sampailah kami ketepi telaga yang tenang itu. Pak uta itu masih dengan mata yang memandangku itu dengan cinta, lalu menebar segenggam garam tadi kedalam telaga, kemudian diaduknya telaga itu dengan sepotong kayu yang membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga itu tenang, kemudian ia berkata,
“coba ambil air telaga ini, dan minumlah”.
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, pak tua berkata lagi,”bagaimana rasanya?”
“segar”,sahutku. “Apakah kamu masih merasakan garam didalam air itu?”tanya pak tua lagi. “tidak”, jawabku.
Dengan bijak pak tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. Lalu ia mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh ditepi telaga. “anak muda,dengarlah kata-kataku ini, pahit dan getirnya kehidupan ini laksana segenggam garam yang kau taburkan kedalam air, tak lebih dan tak kurang”.
Jumlah rasa pahit itu sama dan memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan, akan saangat tergantung dari tempat atau wadah yang kita miliki. Kepahitan itu selalu berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya, itu semua tergantung dari hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yag boleh kamu lakukan: “lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskanlah wadah pergaulanmu supaya kamu mempunyai pandangan hidup yang luas. Kamu akan banyak belajar dari keleluasaan itu. Pak tua itu lalu kembali memberi nasihat. “hatimu anaku,adalah wadah itu. Dan perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu itu laksana telaga yang luas, luaas sekali...yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”.
Kami lalu beranjak pergi meninggalkan telaga, telaga yang telah menunjukan sebuah pelajaran berharga padaku itu, kami sama-sama belajar dihari itu pada sebuah telaga yang tenang dan selalu menaburkan senyuman dari setiap gelombang dan cahaya dari bening airnya.
Aku ingin hidup ini penuh arti, aku ingin melangkah, berjalan menelesuri jalan setapak… Aku tahu….hidup ini tidak menjanjikan apa-apa, Juga tidak menghindarkan apa pun yang akan terjadi dalam hidupku. Aku hanya ingin mencari apa yang aku inginkan dan mengejarnya. Hidup hanya memberiku waktu untuk membuat pilihan dan mengambil resiko, menemukan sendiri rahasia hidup ini…. Karena aku tahu hidup tidak menjamin apa yang akan aku miliki. Akan kuisi hidup ini dengan waktu-waktu yang tak terlupakan. Akan kubuka mataku akan kecantikannya, Akan kubuka pikiranku akan kemustahilannya, Dan akan aku ikuti mimpi-mimpiku kemanapun arahnya. Segalanya akan tercapai…..
Aku ingin mengarungi luasnya lautan, berkelana ketempat yang jauh, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Mendaki puncak tantangan, mengarungi padang dan gurun-gurun, melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin dan menciut dicengkeram dingin. Aku mendamba kehidupan dengan berbagai kemungkinan menghirup berupa-rupa pengalaman yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin merasakan keindahan hidup ini……
0 komentar:
Posting Komentar